Pada zaman pemerintahan Adipati Pertama,
Arya Wiraraja di Keraton Sumenep, Madura, Jawa Timur banyak tokoh agama
dan ulama besar yang mengabdi dan menyebarkan agama Islam di wilayah
Sumenep. Salah satunya, Syehk Mahfudz.
Makam Syehk Mahfudz yang dikenal dengan
sebutan Pesarean Gurang-Garing, kini ada di Desa Lombang, Kecamatan
Batang-Batang, Sumenep dan ramai dikunjungi peziarah, baik warga Madura
sendiri maupun dari Pulau Jawa. Bahkan, pada hari-hari tertentu banyak
peziarah yang bermalam.
Dikutip PortalMadura.Com dari sebuah
tulisan Eva Susanti, Mahasiswi UTM Bangkalan menyebutkan, bahwa Syehk
Mahfudz menyebarkan ilmunya di daerah Gapura Timur, Kecamatan Gapura,
yang lebih dikenal daerah “Lambi Cabih”.
Penamaan Lambi Cabih diberikan langsung
oleh Arya Wiraraja yang artinya, “Bibir Pedas”. Cerita dari warga Gapura
Timur bermakna bahwa do’a Syehk Mahfudz mustajab atau cepat terkabul
oleh Yang Maha Kuasa.
Kalimat tersebut terlontar dari Adipati
Arya Wiraraja saat Syehk Mahfudz mampu mengisi air kedalam “Gentong
Raksasa” yang ada di halaman belakang Keraton Sumenep. Syehk Mahfudz
diperintah mengisi air Gentong Raksasa itu karena menolak titah raja
untuk dinobatkan sebagai hakim kerajaan.
Penolakan atas titah tersebut, karena
Syehk Mahfudz lebih memilih hidup diluar keraton untuk menyebarkan agama
Islam dan tidak tegah meninggalkan santrinya. Atas ijin Yang Maha
Kuasa, akhirnya hujan turun yang airnya hanya mengarah pada Gentong
Raksasa itu, hingga meluap ke halaman keraton.
Sebutan pesarean Gurang-Garing di Desa
Lombang, Kecamatan Batang-Batang, juga tidak lepas dari periswa
tersebut. Dari cerita turun-temurun menyebutkan bahwa kata “Besar” itu
disebut dengan “Gurang” dan kata “Kering” adalah “Garing”.
Oleh karena itu, istilah Gurang-Garing berarti Gentong Raksasa yang Kering